“Bagaimana aku lewatkan masa itu aku tak tahu,”katanya, “yang
aku ketahui hanyalah bahwa masa itu mengerikan”.
Banyak curahan hati Kartini yang tertuang di goresan-goresan
surat yang ditulis untuk Stella. Salah satunya adalah kisahnya saat Kartini
mulai kehidupan barunya sebagai gadis
remaja yang tumbuh dewasa. Kehidupan ningrat dan jawa mengharuskan dirinya
seperti hidup di sangkar namun bukan emas. Dipingit!! Kenapa bukan sangkar
emas, karena nggak bisa twitteran hehehe. Kartini yang gila ilmu tidak mau
kalah dari abang-abangnya yang bisa bersekolah tinggi sampai ke Eropa,
sedangkan ia hanya bisa terkurung di antara empat tembok besar dan tentunya
tembok-tembok inilah yang akan menjadi dunianya saat itu.
Tahun 1892, sedikit demi sedikit Kartini memperoleh
kebebasannya, Kartini mulai sering terlibat dan menghadiri berbagai kegiatan social.
Kehidupannya bukan lagi empat tembok besar tapi dunia nyata yang bersentuhan
dengan kehidupan masyarakat pribumi lainnya. Salah satu aktivitas Kartini
adalah menghadiri asosiasi antara pembebasan dan pentahbisan gereja umat
Nasrani. Dari sinilah Kartini mulai menghargai agama Nasrani.
***
Dikisahkan pula sedikit tentang Kabupaten Jepara. Jepara
terkenal sebagai tanah kelahiran Kartini. Tapi tidak itu saja, Jepara merupakan
tempat pelabuhan terbaik yang dimiliki Kerajaan Demak dan menjadi pusat
pengiriman bahan makanan bagi daerah Maluku, Malaka dan Jawa Barat. Di Jepara
pula, pernah berdiri Kerajaan Kalingga sekitar abad 8 M. Selain dikenal sebagai
“kota Kartini”, Jepara juga dikenal lewat tokoh kepahlawanan Pati Unus atau
Pangeran Sabrang Lor yang pernah merebut wilayah ini dari genggaman Portugis.
Wanita gagah lain yang berasal dari Jepara adalah Ratu Kalinyamat.
Jepara untuk selamanya akan dikenang bersama Kartini. Bukan hanya
dalam sejarah nasional, Jepara dan Kartini memberikan sumbangsih yang besar
dalam mengurangi penderitaan pribumi. Sebagaimana didoakan oleh Kartini bahwa
Jepara selamanya akan dihormati karena keduanya adalah babak baru dalam
perkembangan Bangsa Indonesia, babak modern.
***
Disebut bersama dengan
Rakyatku; dengannyalah dia akan berada buat selama-lamanya! Aku sangat bangga,
Stella, disebut dengan satu nafas dengan Rakyatku.
Kartini hidup ditengah-tengah pribumi yang melarat. Meskipun
ia berkecukupan dan dari keluarga terhormat, tapi tak bisa dipungkiri ia tumbuh
bersama kemelaratan orang disekitarnya. Ia sadar betul bagaimana kehidupan
rakyatnya. Namun ia hanya bisa diam tertekan, karena kerasnya peraturan sang
ayah, seorang feudal dari karat tertinggi. “Kerja Buat Rakyat” prinsip yang
teguh ia tanamkan di benaknya. Sangat berbeda dengan DPR RI sekarang yaa,
prinsipnya “Kerja Buat Partai” noh malu sama Ibu Kartini.
Adat Jawa mengenal system kasta untuk lapisan masyarakatnya,
dipandang dari keturunan orang tersebut. Ayah Kartini yang menduduki tepat di
tengah sebagai pusat kehidupan pribumi dan tidak bisa diganggu gugat oleh
siapapun, ia menjadi raja dan dewa untuk rakyat jelata. Lapisan kalangan bawah
terdiri dari pembantu rumah tangga, tukang jahit, tukang kebun, kuli bangunan
dll. Antara lapisan bawah dengan lapisan diatasnya, terbentang jarak pemisah
yang begitu kuat. Oleh karena itu rasa simpati Kartini terhadap rakyat jelata
adalah hal yang bertentangan dengan system feodalisme kala itu.
Adat Jawa yang primitive juga tergambar pada kehidupan
sehari-hari, ini dituliskan Kartini kepada Stella. Bahwa kaum ningrat harus
bergaul dengan kaum ningrat. Pribumi dilarang berbicara dengan kaum terhormat.
Ilmu tak berguna, yang terpenting adalah garis keturunan. Kemampuan, kebiasaan
dan jasa tidak berlaku pada zaman itu. Ngeri euy!
Begitulah
adat jawa yang kaku, tegas dan terkesan memaksa tumbuh bersama dengan Kartini. Namun
ia tahu betul, bagaimana system tersebut membuat rakyat jelata menderita. Rakyat
hanya melakukan apa yang diperintahkan para kaum berada, jika mereka mengangguk
maka itulah perintah wajib untuk rakyat, jika menggeleng haram hukumnya untuk
dilakukan. Sungguh ironis, ketika pada era itu Kartini sudah menggaungkan
tentang pentingnya demokrasi, supaya rakyat tidak terbelenggu dan menjadi bodoh
seperti boneka. Eh, sekarang era millennium kekuasaan dikembalikan ke kasta tertinggi
pemerintahan, DPR/MPR. Rakyat tak mampu lagi bersuara dan kehilangan hak untuk
ikut berpolitik. Melanggar UUD 1945 pasal 28 nggak sih?
Bersambung..
keren sekali lanjutkan
ReplyDelete