Judul : Panggil Aku Kartini Saja
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal : 304 hlm
ISBN : 9799731211
Di pelajaran sekolah dulu, saya mengenal Kartini hanya sebagai tokoh wanita Indonesia dengan semangat emansipasi wanitanya. Selain itu juga Kartini ini dikenal sebagai Siti Nurbayanya Jawa karena harus kawin paksa. Dan Kartini dikenang setiap tanggal 21 April yang tidak lain adalah hari kelahirannya. Entah saya yang memang tidur waktu pelajaran IPS / sejarah wekeke atau memang hanya sebatas itu-itu saja sosok kartini di mata generasi muda. Sayang sekali sosok Kartini lebih banyak dikenang hanya dengan lomba modeling, memasak dan sebagainya. Kartini dikenang hanya sebatas dari pakaiannya, kebaya. Sepertinya sih lebih dikenal kebaya daripada Kartininya. Jangan-jangan 5 tahun mendatang, Kartini akan lebih dikenang sebagai wanita jawa yang memakai kebaya. Huks. But Well she is a woman seldom and make history.
***
Panggil Aku Kartini Saja adalah buku yang ditulis oleh
Pramoedya Ananta Toer hasil analisis beliau tentang sisi lain Kartini,
berdasarkan surat-surat yang ditulis Kartini untuk teman-temannya (Estelle Zeehandelaar dkk) di luar
negeri. Kartini adalah orang pertama dalam sejarah Indonesia yang menutup zaman
tengah, zaman feodalisme Pribumi yang “sakitan” menurut istilah Bung Karno.
(hal 12) Hehe terlalu tinggi ya bahasanya, dan di buku ini masih banyak bahasa
yang sedikit kaku dan terlalu sastrawan. Semoga saya bisa menuliskannya ulang
dengan bahasa yang sedikit gaul, sederhana maksudnya. :D, Here we go ^^
**
Kartini hidup di zaman Feodalisme atau zaman dimana
kekuasaan dipegang oleh orang – orang yang memiliki kekayaan dan memiliki
pangkat atau jabatan yang tinggi. Nah yang punya kekayaan lebih ini bukan orang
pribumi, bukan orang jawa, melainkan penjajah. Leluhur yang tambah miskin dalam
penjajahan. Tentu kita sudah mengenal system tanam paksa yang digagas oleh
kompeni. Era tanam paksa inilah yang menjadi bagian sejarah dari keluarga
leluhur Kartini. Saat Hindia Belanda mengalami krisis ekonomi sekitar tahun
1803, seorang pensiunan komisaris jenderal mengajukan beberapa rencana untuk
memulihkan keadaan ekonomi Hindia Belanda.
Mereka menyebutnya cultursteel,
mereka berdalih bahwa ini tidak jahat, trus apa dong hehe? Orang jawa suka
bertani, maka mereka memanfaatkan ini untuk memeras tenaga petani-petani Jawa
untuk mengisi pundi-pundi ekonomi Pemerintah Belanda. Hayo kerja! Kerja kerja buat Kompeni, kalian orang-orang pemalas! Hayo
kerja. Biar jiwamu bergerak sedikit!! (hal 23) Nah looo ocehan buat diri sendiri ini mah :p
Perbudakan yang telah dihapus oleh Raffles dihidupkan
kembali. Kopi, nila, gula, tembakau diekspor secara besar-besaran ke Eropa,
uangnya masuk mana? Ya kompeni. Rakyat? Ya bengong tidak tau apa-apa… beeehhh. Sampai-sampai
Indonesia dijuluki gabus tempat Nederland berapung. Yah sama dong ya kayak
sekarang, Freeport, perusahaan tambang, perusahaan minyak dikelola oleh pihak
asing, warga lokal cuma melongo aja tidak dimaksimalkan dengan baik, bisa-bisa malah diusir dari lahan mereka. *tepok jidat. Eh berarti kita masih dijajah dong ya? Haks.
Di Demak dan Grobogan mengalami musim paceklik karena para
petani tak bisa mengurus tanahnya sendiri, karena harus kerja rodi. Sekitar
216.000 warga tewas kelaparan. Di Jepara sendiri keadaan tidak jauh berbeda
dengan wilayah lain di Jawa. Kerja rodi benar-benar dimaksimalkan oleh Van Den
Bosch, duh nih orang emang ngeselin deh. Kalau jaman sekarang orang kayak gini
udah dibully habis-habisan.
Kisah Keluarga Tjondronegoro leluhur Kartini—
Kelaparan di Demak dan Grobogan mencapai puncaknya.
Pemerintah Belanda mengangkat seorang Bupati. Ario Tjondronegoro (Kakek
Kartini). Sebelumnya ia menjabat sebagai Bupati Kudus di era pemberontakan
Diponegoro, sejak umur 25 tahun. Sejak ia menjabat, kelaparan sedikit demi
sedikit berkurang. Ia menyelidiki apa yang menjadi kelemahan Pribumi sehingga
bisa dibodohi oleh penjajah. Tentu saja kelemahan Pribumi adalah kemajuan
pengetahuan dan semangat modern. Oleh sebab itu, ia mendidik anaknya, Ario
Hadiningrat (Paman Kartini) supaya berpengetahuan luas.
Tahun 1902 di Jawa dan Madura hanya ada 4 orang Bupati yang
pandai menulis dan fasih bahasa Belanda, salah satunya adalah Paman Kartini dan
Ayahanda Kartini, RM. Adipati Ario Sosroningrat. Sepertinya memang darah
menulis sudah diwarisi leluhur Kartini, Paman Kartini, Pangeran Ario
Hadiningrat pernah menulis Nota berjudul : Sebab-sebab Kemunduran Prestise Amtenar
Pribumi Serta Bagaimana Jalan untuk Meningkatkan Kembali. Paman lain
Kartini, RM Adipati Ario Tjondronegoro juga menerbitkan buku tentang Kesalahan-kesalahan
dalam Mengarang dalam Bahasa Jawa. Putra – putra Ario Tjondronegoro
(Kakek Kartini) adalah generasi pertama Pribumi yang menerima pendidikan barat
serta menguasai bahasa Belanda. Generasi tokcer pada zamannya nih.. hehe
**
Garis bangsawan memang nampak dari keturunan Sang Ayah,
tidak demikian dengan Ibunda Kartini. Adalah Ngasirah, Ibunda Kartini yang
jarang diekspos di buku sekolah. Bu Ngasirah dari kalangan Bangsawan? Tidak, ia
adalah putri dari mandor pabrik gula Majong alias rakyat jelata. Hmm, memang poligami
itu sepertinya sudah mendarah daging ya, hiks. Bu Ngasirah ini adalah istri
kedua dari RM Adipati Sosroningrat. Heuuu.. Puk-puk Bu Ngasirah. Sang Ayah menikah dengan Bu Ngasirah sebelum menjabat sebagai Bupati Jepara. Mereka saling
jatuh cinta dan melahirkan 2 orang anak yaitu, RM Sosrokartono dan Kartini, tuh
ternyata memang ada ya kartono.
Di masa kecilnya belum jelas siapa yang mengasuh Kartini. Perang dingin antara istri pertama dan Bu Ngasirah sangat nampak. Bu Ngasirah
terpinggirkan, ia tidak tinggal di kediaman utama, namun tinggal di rumah
asisten. Puk-puk lagi Bu Ngasirah. Perang permaduan membuat Kartini harus hidup
riwa riwi dari kediaman utama dan
rumah asisten, meskipun jaraknya tidak jauh.
Kartini yang sangat menyayangi Ayahnya tidak pernah menyebut
tentang permaduan ini. Kartini juga tidak pernah menulis tentang Ibunya di
surat-surat yang dikirimkan ke teman-temannya. Makanya Bu Ngasirah tidak eksis
di sejarah Indonesia. Entah apa yang dipikirkan oleh Kartini. Begitu besarkah
cintanya untuk Sang Ayah? Sampai-sampai disuruh kawin paksa pun mau.. ?!
Setelah Kartini lahir disusul 2 orang adiknya dari Ibu tua/Ibu tiri yang turut meramaikan kediaman Pak Bupati ini. Kartini dan saudara-saudaranya disekolahkan di dekat rumah. Anak perempuan sekolah? Nampaknya itu sudah melanggar adat jawa saat itu. Untung saya bukan orang Jawa tapi bule Prancis yang terdampar di Sidoarjo, kriuk.... Kartini dan saudara-saudara perempuannya yang lain jarang diperbolehkan keluar rumah. Dan sepertinya peraturan ini hanya berlaku untuk anak pejabat/bangsawan. Sedangkan anak gadis dari rakyat jelata bebas melenggang kesana kemari karena harus membantu orang tuanya mengolah ladang.
Kartini hanya sekolah sampai tingkatan Sekolah Dasar. Di masa sekolahnya banyak sekali tindakan diskriminasi yang dialaminya, tak terkecuali dari pihak guru sendiri. Entah apa yang mendasari tindakan diskriminasi seperti ini, apakah karena putri dari pejabat? atau karena anak gadis yang bersekolah? Ah.. Syudahlah,,,
“Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya -- (Rumah Kaca, h. 409)” - Pramoedya Ananta Toer
Bersambung...
Setelah Kartini lahir disusul 2 orang adiknya dari Ibu tua/Ibu tiri yang turut meramaikan kediaman Pak Bupati ini. Kartini dan saudara-saudaranya disekolahkan di dekat rumah. Anak perempuan sekolah? Nampaknya itu sudah melanggar adat jawa saat itu. Untung saya bukan orang Jawa tapi bule Prancis yang terdampar di Sidoarjo, kriuk.... Kartini dan saudara-saudara perempuannya yang lain jarang diperbolehkan keluar rumah. Dan sepertinya peraturan ini hanya berlaku untuk anak pejabat/bangsawan. Sedangkan anak gadis dari rakyat jelata bebas melenggang kesana kemari karena harus membantu orang tuanya mengolah ladang.
Kartini hanya sekolah sampai tingkatan Sekolah Dasar. Di masa sekolahnya banyak sekali tindakan diskriminasi yang dialaminya, tak terkecuali dari pihak guru sendiri. Entah apa yang mendasari tindakan diskriminasi seperti ini, apakah karena putri dari pejabat? atau karena anak gadis yang bersekolah? Ah.. Syudahlah,,,
“Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya -- (Rumah Kaca, h. 409)” - Pramoedya Ananta Toer
Bersambung...
Paling tidak saya tahu kalau kakek ibu kita Kartini adalah seorang Bupati. Dulu saya waktu TK sama SD masih sering menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini. Tapi anak TK dan SD zaman sekarang lagunya dangdut koplo. :)
ReplyDeletebetul skrg taunya oplosan x_x
Deleteaku juga penggemar Pramoedya, buku ini udah lama banget aku punya.. suka ceritanya :)
ReplyDeleteToss mbak, aku jg suka tp ini masih setengah jalan bacanya wkwk
Deletebelum kesampaian baca buku karya Pramoedya
ReplyDeletesaya juga baru ini buku ini mbak kesampaian baca buku karya Pak Pram...:)
Deletewah saya belum punya neh buka nya
ReplyDeleteberkunjung kemari sambil ngabuburit, ditunggu kunjungan baliknya. barangkali ada yang bermanfaat untuk putra putrinya
ReplyDeleteijin nyimak aja
ReplyDeleteberkunjung LAGI kemari dalam rangka menyambut hari 17 agustus hehehe.... ditunggu kunbalnya ya, o iya minal aidin walfaidin jg ya
ReplyDeletesinggah kemari sambil menyimak saja ^_^, salam perkenalan ya. bila ada waktu mampir ketempat saya ya ^_^
ReplyDeletetadi saya baca dr yang kedua ..hahha tapi bagus koo
ReplyDelete