Monday 29 September 2014

Panggil Aku Kartini Saja (2)


“Bagaimana aku lewatkan masa itu aku tak tahu,”katanya, “yang aku ketahui hanyalah bahwa masa itu mengerikan”.

Banyak curahan hati Kartini yang tertuang di goresan-goresan surat yang ditulis untuk Stella. Salah satunya adalah kisahnya saat Kartini mulai  kehidupan barunya sebagai gadis remaja yang tumbuh dewasa. Kehidupan ningrat dan jawa mengharuskan dirinya seperti hidup di sangkar namun bukan emas. Dipingit!! Kenapa bukan sangkar emas, karena nggak bisa twitteran hehehe. Kartini yang gila ilmu tidak mau kalah dari abang-abangnya yang bisa bersekolah tinggi sampai ke Eropa, sedangkan ia hanya bisa terkurung di antara empat tembok besar dan tentunya tembok-tembok inilah yang akan menjadi dunianya saat itu. 

Tahun 1892, sedikit demi sedikit Kartini memperoleh kebebasannya, Kartini mulai sering terlibat dan menghadiri berbagai kegiatan social. Kehidupannya bukan lagi empat tembok besar tapi dunia nyata yang bersentuhan dengan kehidupan masyarakat pribumi lainnya. Salah satu aktivitas Kartini adalah menghadiri asosiasi antara pembebasan dan pentahbisan gereja umat Nasrani. Dari sinilah Kartini mulai menghargai agama Nasrani. 

***
Dikisahkan pula sedikit tentang Kabupaten Jepara. Jepara terkenal sebagai tanah kelahiran Kartini. Tapi tidak itu saja, Jepara merupakan tempat pelabuhan terbaik yang dimiliki Kerajaan Demak dan menjadi pusat pengiriman bahan makanan bagi daerah Maluku, Malaka dan Jawa Barat. Di Jepara pula, pernah berdiri Kerajaan Kalingga sekitar abad 8 M. Selain dikenal sebagai “kota Kartini”, Jepara juga dikenal lewat tokoh kepahlawanan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang pernah merebut wilayah ini dari genggaman Portugis. Wanita gagah lain yang berasal dari Jepara adalah Ratu Kalinyamat.

Jepara untuk selamanya akan dikenang bersama Kartini. Bukan hanya dalam sejarah nasional, Jepara dan Kartini memberikan sumbangsih yang besar dalam mengurangi penderitaan pribumi. Sebagaimana didoakan oleh Kartini bahwa Jepara selamanya akan dihormati karena keduanya adalah babak baru dalam perkembangan Bangsa Indonesia, babak modern.
***   

Disebut bersama dengan Rakyatku; dengannyalah dia akan berada buat selama-lamanya! Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas dengan Rakyatku.

Kartini hidup ditengah-tengah pribumi yang melarat. Meskipun ia berkecukupan dan dari keluarga terhormat, tapi tak bisa dipungkiri ia tumbuh bersama kemelaratan orang disekitarnya. Ia sadar betul bagaimana kehidupan rakyatnya. Namun ia hanya bisa diam tertekan, karena kerasnya peraturan sang ayah, seorang feudal dari karat tertinggi. “Kerja Buat Rakyat” prinsip yang teguh ia tanamkan di benaknya. Sangat berbeda dengan DPR RI sekarang yaa, prinsipnya “Kerja Buat Partai” noh malu sama Ibu Kartini.

Adat Jawa mengenal system kasta untuk lapisan masyarakatnya, dipandang dari keturunan orang tersebut. Ayah Kartini yang menduduki tepat di tengah sebagai pusat kehidupan pribumi dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, ia menjadi raja dan dewa untuk rakyat jelata. Lapisan kalangan bawah terdiri dari pembantu rumah tangga, tukang jahit, tukang kebun, kuli bangunan dll. Antara lapisan bawah dengan lapisan diatasnya, terbentang jarak pemisah yang begitu kuat. Oleh karena itu rasa simpati Kartini terhadap rakyat jelata adalah hal yang bertentangan dengan system feodalisme kala itu. 

Adat Jawa yang primitive juga tergambar pada kehidupan sehari-hari, ini dituliskan Kartini kepada Stella. Bahwa kaum ningrat harus bergaul dengan kaum ningrat. Pribumi dilarang berbicara dengan kaum terhormat. Ilmu tak berguna, yang terpenting adalah garis keturunan. Kemampuan, kebiasaan dan jasa tidak berlaku pada zaman itu. Ngeri euy! 

Begitulah adat jawa yang kaku, tegas dan terkesan memaksa tumbuh bersama dengan Kartini. Namun ia tahu betul, bagaimana system tersebut membuat rakyat jelata menderita. Rakyat hanya melakukan apa yang diperintahkan para kaum berada, jika mereka mengangguk maka itulah perintah wajib untuk rakyat, jika menggeleng haram hukumnya untuk dilakukan. Sungguh ironis, ketika pada era itu Kartini sudah menggaungkan tentang pentingnya demokrasi, supaya rakyat tidak terbelenggu dan menjadi bodoh seperti boneka. Eh, sekarang era millennium kekuasaan dikembalikan ke kasta tertinggi pemerintahan, DPR/MPR. Rakyat tak mampu lagi bersuara dan kehilangan hak untuk ikut berpolitik. Melanggar UUD 1945 pasal 28 nggak sih?


Bersambung..

1 comment:

Related Posts

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...