Thursday, 6 December 2012

Tradisi Bubur Suro


Saat bulan Suro kemarin, tepatnya tanggal 10 Muharram atau tanggal 24 November saya mendapat kiriman bubur suro (yang isinya bubur beras/nasi, kering tempe, telur dadar, potongan ayam dan abon) dua piring. Saya jadi bertanya-tanya sebenarnya apa makna dari tradisi ini. Akhirnya jreng-jreng setelah saya searching di mbah google, saya nemu di kompas. Berikut penjelasannya yang lengkap dan lugas :

Tanggal 1 Suro (1 Muharram dalam tarikh Islam, atau 1 Asyura) diperingati oleh masyarakat Jawa dengan cara yang khas dan telah dilaksanakan secara turun-temurun selama berabad-abad. Sayangnya, tradisi ini tampaknya telah semakin termarginalkan dan hanya dilaksanakan oleh kaum sepuh yang masih memelihara tradisi itu sebagai pusaka budaya.

Seperti halnya dalam tradisi dan budaya yang lain, setiap ritual pelintasan (rites of passage) selalu diiringi dengan elemen kuliner sebagai lambang. Kaum Islam di Jawa merayakan Idul Fitri dengan nasi kuning, sementara suku-suku lain di Indonesia merayakannya dengan sajian ketupat. Pada Hari Raya Imlek, saudara-saudara kita yang keturunan Tionghoa memakai kue keranjang sebagai lambang. Kaum Kristen di Amerika Serikat menandai Thanksgiving Day dengan sajian kalkun panggang. Tidak satu pun kitab suci agama yang mewajibkan hadirnya makanan-makanan itu dalam hari-hari raya keagamaan. Karena itu, tradisi ini harus dilihat sebagai murni tradisi yang terpisah dari syariat agama. Tradisi ini memberi warna dan nuansa budaya dari rangkaian ritual agama – bagian perayaan atau celebration, atau festival, untuk memaknai kesyukuran. Mohon dicatat, tradisi Imlek dan Thanksgiving bukanlah bagian dari ritual agama. 

Masyarakat Jawa menghadirkan bubur suran atau bubur suro pada malam menjelang datangnya 1 Suro. Dalam konsep Jawa, setelah lewat pukul empat petang dianggap sudah memasuki hari baru esok. Harus diingat bahwa bubur suro bukanlah sesajen yang bersifat animistik. Bubur suro syarat dengan lambang, dan karenanya harus dibaca, dilihat, dan ditafsirkan sebagai alat (uba rampe dalam bahasa Jawa) untuk memaknai 1 Suro atau Tahun Baru yang akan datang.

Bubur suro dibuat dari beras, santan, garam, jahe, dan sereh. Rasanya gurih dengan nuansa asin-pedas tipis. Di atas bubur ini ditaburi serpihan jeruk bali dan bulir-bulir buah delima, serta tujuh jenis kacang, yaitu: kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, kacang bogor – sebagian digoreng, sebagian direbus. Diakhiri dengan beberapa iris ketimun dan beberapa lembar daun kemangi. Bayangkan, bauran elemen bahan dan bumbu yang menghadirkan berbagai tekstur.Klethik, klethuk, kriuk, krenyes … Hmm!

Lauk yang umum dipakai untuk mendampingi bubur suro adalah opor ayam yang mlekohdan sambal goreng labu siam berkuah encer dan pedas. Campuran itu menjadikan bubur suro sangat bergizi. Tidak heran bila Universitas Atma Jaya di Jakarta dan Universitas Airlangga di Surabaya melakukan kajian tentang kandungan gizi bubur suro dan menerbitkannya dalam makalah ilmiah.

Sebagai uba rampe, bubur suro tidak hadir sendiri. Ada lagi uba rampe lain berbentuk sirih lengkap, kembar mayang, dan sekeranjang buah-buahan. Hadirnya sirih lengkap melambangkan asal-usul dan penghormatan atau pengenangan kita kepada orang tua dan para leluhur – khususnya yang telah mendahului kita. Sirih lengkap – biasanya diletakkan dalam bokor kuningan atau tembaga – selalu hadir sebagai kelengkapan dalam ritual pelintasan Jawa dengan makna yang sama. Di Tanah Melayu kita juga melihat tradisi sekapur sirih ini untuk menyambut tamu yang datang berkunjung.

Kembar mayang yang hadir pada peringatan 1 Suro berbeda dengan kembar mayang yang kita lihat pada upacara pernikahan masyarakat Jawa. Disebut kembar mayang karena memang terdiri atas dua vas bunga. Masing-masing vas berisi tujuh kuntum mawar merah, tujuh kuntum mawar putih, tujuh ronce (rangkaian) melati, dan tujuh lembar daun pandan.

Kenapa harus serba tujuh? Tujuh melambangkan jumlah hari dalam seminggu. Maknanya, dalam hidup setiap hari, kita harus selalu punya tekad dan keberanian untuk bertindak (dilambangkan dengan mawar merah). Tetapi, semua tindakan itu harus dilandasi dengan niat yang bersih dan benar, seperti dilambangkan oleh mawar putih. Dan akhirnya, semua tindakan itu harus mampu mengharumkan dunia umat manusia, seperti dilambangkan dengan rangkaian bunga melati dan daun pandan.

Sekeranjang buah-buahan juga diisi dengan tujuh jenis buah, dan masing-masing terdiri atas tujuh butir, misalnya: tujuh jeruk, tujuh salak, tujuh rambutan, dan lain-lain. Maknanya adalah agar semua pekerjaan dan tindakan menghasilkan buah yang manis dan  bermanfaat bagi sesama.

Bila kita melihat, “membaca”, dan memberi makna pada lambang-lambang yang dihadirkan oleh bubur suro dan uba rampe-nya itu, akan tampak kemiripannya dengan tradisi modern menyambut tahun baru yang ditandai dengan refleksi dan resolusi. Kita melakukan peninjauan kembali terhadap kinerja tahun sebelumnya, dan kemudian membuat resolusi untuk memerbaiki tata hidup dan pencapaian di tahun berikutnya.

Bubur suro dan uba rampe yang dihadirkan kemudian tampil sebagai alat atau check listuntuk memudahkan proses refleksi dan resolusi yang kita lakukan. Sudahkah kita punya tekad yang kuat untuk bekerja? Sudah benar dan bersihkah landasan tekad kita? Apakah pekerjaan kita sudah mengharumkan lingkungan kita? Apakah semua itu telah menghasilkan buah yang nyata? Bila belum, ayo kita perbaiki untuk tahun berikutnya.

Di kalangan umat Islam, juga dikenal Tradisi Karbala yang jatuh pada tanggal 10 Muharram. Ini adalah sebuah tradisi yang jamak dirayakan kaum Syi’ah di Iran dan Irak. Dulu, Karbala dirayakan dengan tradisi melukai diri untuk mengenang pembunuhan terhadap Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad s.a.w. – sebuah lembaran hitam dalam sejarah syi’ar Islam. Sekarang, tradisi melukai diri itu telah dilarang karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama.

Di Tasikmalaya dan Garut, ada beberapa kelompok masyarakat yang juga merayakan tradisi 10 Muharram ini dengan bubur sura yang pada intinya terdiri atas bubur merah dan bubur putih yang masing-masing disimpan secara terpisah. Bubur merah dan bubur putih ini kemudian diusung ke masjid desa bersama hahampangan (berbagai makanan kecil) untuk disantap berjamaah.

Di Garut, beberapa orang tua menjadikan 10 Asyura untuk menabalkan nama anaknya yang baru lahir. Biasanya orang tua membawa si bayi ke masjid, kemudian memerkenalkan namanya kepada hadirin. Karena acara “perkenalan” ini memakai syarat bubur merah dan bubur putih, di masyarakat Sunda sering terdengar ungkapan: "Ngaran budak teh geus beunang ngabubur beureum ngabubur bodas." (Nama anak ini sudah dikuatkan dengan bubur merah dan bubur putih).

Sekali lagi, saya tidak ingin terjebak dalam wacana musyrik atau syirik yang acapkali mewarnai tradisi seperti ini. Seorang teman mengatakan kepada saya: “Yang dimaksud musyrik itu adalah bila kita menuhankan benda atau mahluk lain selain Allah s.w.t. Kalau Anda menuhankan jabatan dan kekuasaan, maka Anda musyrik. Bila Anda korupsi karena menuhankan uang, Anda juga musyrik.”

Bubur suro bukanlah sesajen! Lepas dari urusan keberagamaan, saya hanya ingin “membaca” bubur suro sebagai sebuah pusaka kuliner yang patut dilestarikan dalam konteks tradisi dan budaya. Banyak dari kita yang sudah lupa doktrin Trisakti yang dulu sering diucapkan Bung Karno, yaitu: berdaulat dalam politik, berswadaya dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.



No comments:

Post a Comment

Related Posts

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...