Surat Milkhan tentu saja adalah pokok penting yang aku tunggu-tunggu selama sebulan lebih ini. Ruang, Waktu dan falsafah-nya. Aku ingin memuji surat Milkhan yang puitik itu, yang mampu dengan segala keragu-raguannya menggiringku merasuk dalam imajinasinya sendiri. Aku tak hendak berbusa-busa, karena pada dasarnya, semua ini akan diawali dan diakhiri oleh tesis Milkhan yang biasa-biasa saja tapi cukup cerdas dan filosofis (meski tak harus dipaksakan):
“Dalam keterlambatan dan ruang yang samar, selalu ada harapan yang terselip”
Bersama kata-katamu di atas, Milkhan, waktu dan ruangku memadat. Waktumu terasa seperti waktu Leibniz. Seolah-olah semuanya harus kau ukur. Seolah-olah semuanya bisa kau susun dengan rapi. Setelah ini yang itu. Dan setelah itu pasti yang itu lagi. Setelah ini apalagi. Setelah itu apalagi. Linier. Seolah-olah ia runtut dan harus sesuai dengan tatanannya. Disiplin. Mapan. Tertib. Apalagi?
Aku pandir membacamu tapi aku suka dan menikmati. Karena di balik ekspresimu yang aneh itu, masih ada optimisme yang jujur walaupun ia ditempatkan pada titik yang paling genting yang cenderung konvensional. Dan kenapa aku masih menyukainya? Ketahuilah, Milkhan, waktumu menggelantung. Tak jelas. Di tengah. Dan aku suka segala yang menggantung. Aku suka sesuatu yang tak bisa terselesaikan. Aku suka keabadian yang dibawanya dalam misteri tersendiri.
Aku akan mengudari kata-kata absurd “yang terselip” itu, meski kau nampaknya belum cukup sadar mampu menulis kata-kata canggih ini: Harapan, waktu sisa, dan keterlambatan. Milkhan, bukankah waktu bagimu seperti lilin yang mencoba ingin menyala tapi ragu-ragu dan bimbang. Waktumu ketakutan karena kau pikir ia takkan bisa mati. Waktu hanya mati saat tubuhmu tak mampu lagi menjadi substansi atau ruang bagi jiwa yang mendekam. Waktu itu ada pada tubuhmu, waktu ada karena tubuhmu masih menjadi ruang. Jadi mengapakah kau masih harus selalu memperlambat dirimu?
Di dalam angka kau tak akan menemukan waktu, kau hanya akan dikejar-kejar oleh persepsimu tentang waktu. Angka-angka itu diciptakan seringkali hanya untuk memburu-buruimu. Ia seperti samurai yang siap dengan sekali tebas, memampuskan jiwa kita di tangannya.
Waktu jadi bom saat ia ditunggangi kekinianmu. Yang seakan mempercepat segala-galanya. Dan bom itu seolah telah bertenaga nuklir saat ini, kau tak bisa mengendarai waktu sebagai substansi eksternal bagi tubuhmu yang ringkih itu, Milkhan. Waktu menguasaimu justru saat ia tak tergenggam. Maka kau merasa utuh saat ada yang terselip di dalam waktumu. Begitukah?
Mengapa kau masih merasa dan memercayai kata terlambat, Milkhan? Sementara di balik kata terlambat itu, waktu memburu seperti mesin. Mesin yang siap melindasmu kapan saja. Aku tak ingin memberi nasihat, hanya aku yakin, waktu bergerak saat kau bergerak. Ia tak bisa lepas dari tubuhmu, substansi aneh yang kau tempati itu. Sehingga kau, pada suatu waktu akan mengeluh, kapan waktu ini berhenti sebentar saja, dan membiarkanmu berlama-lama? Itulah tragedi yang akan menimpamu jika kau begitu tersiksa dalam mengejar waktu yang tak akan mungkin pernah kau genggam. Lalu apa yang akan terjadi? Kau akan bunuh diri, Milkhan. Itulah manusia, membunuh dirinya demi menguasai waktu. Mungkin seperti Chairil yang ingin hidup seribu tahun lagi, tapi hanya sebatas keabadian kata-kata tanpa tubuh yang nyata. Ia mati dalam kekuasaan waktu. Bukan Milkhan, tentu saja bukan.
Kau pun bertanya, kapankah kau bisa berjalan bahkan berlari di hadapan waktu? Kau diteror oleh waktumu. Kau akan ketakutan terhadap dirimu sendiri. Tapi pertanyaanmu adalah seperti apa ruang dan waktuku?
Bukan milik siapa-siapa, bukan milik Kant yang melihat waktu sebagai forma a priori suatu intuisi murni yang oleh keindraan manusia dijatuhkan pada pengalamannya bersama ruang dan tidak diketahui apakah pengertian itu memang sesuai pada kenyataan yang menaunginya. Bukan seperti Hume yang memandangnya sebagai urutan impresi, atau sekadar seperti Newton yang mendefinisinya sebagai realitas matematis yang menampung gerak substansi kosmik yaitu tubuh kita. Bukan.
Kau pun masih bertoleran dengan waktu, Milkhan. Kalau aku tidak. Waktu memang sengaja ku lepaskan, seperti layang-layang yang sengaja ku lepaskan. Atau kalau aku ini layang-layang, dan waktu adalah orang yang mengendalikanku, aku akan memintanya melepaskanku. Melepaskanku!
Aku sengaja akan memisahkan diri dengan waktuku, Milkhan. Aku sudah muak dengan segalanya yang represif bersama waktu. Aku tidak ingin dikendalikan siapapun, tidak ingin dikendalikan apapun. Dengan itu mungkin aku akan berpikir dan belajar dan membaca buku-buku dengan tenang, santai, dan menikmatinya hingga aku tenggelam, hilang bersamanya. Tapi justru disana mungkin aku malah menemukan diriku. Dengan melepaskan waktuku aku akan belajar tanpa terkendalikan! Tak terkendalikan!
Tapi mungkinkah itu bisa terjadi??......
Waktu dan Kematian
Di beberapa kemungkinan dalam waktu, kepada takdir manusia melemparkan pertanyaan-pertanyaan. Siapakah aku? Untuk apakah aku ada? Kemana aku pergi setelah ini? Dan mengapa? Apakah ada surga dan neraka? atau purgatori? Apakah ada itu semua?
Mungkin, pernah ada saatnya manusia puas atas perubahan yang meresap hingga setiap milimeter pori-pori tubuhnya, dan usia telah mencapai lima puluh atau tujuh puluh, mungkin saja. Ya, mungkin pertanyaan-pertanyaan itu akan memukul-mukulnya dengan halus namun mampu dengan segala tiraninya, mengisi ketakutan-ketakutan kecil seperti suksesi infinitas yang nyata pada relung hatinya. Tanpa tedeng aling-aling. Manusia seakan telanjang di depan pertanyaan tentang kehidupan dan kematian.
Manusia, dengan keanggunannya menutupi segala yang ia resahkan tentang kematian. Apa yang tampak nyata hanyalah kegelapan dalam tidur tanpa warna-warna cahaya dalam mimpi-mimpi masa kecilnya. Ada batas-batas cukup jelas disana. Manusia tahu, di titik mana ia akan berhenti dan hanya berdiri memandang apa yang ada di punggungnya setelah itu. Waktu seperti lenyap, suatu bentuk subjektif-individual yang berasal dari pikiran.
Ketidak-sempurnaan. Percampuran. Pengalaman. Kebenaran. Esensi. Perpisahan. Pertanyaan. Kisah-kisah yang tak selesai. Jarak. Masa separuh yang ia lewati mungkin hanyalah akan memisahkannya dengan dirinya sendiri. Tidak ada gerak, perubahan, atau perkembangan dalam realitas yang nyata. Maka juga waktu bukan sesuatu yang real.
Apa yang harus difalsafahkan disini? Apa yang harus dibenarkan di atas falsafah itu, Milkhan?
Hanya pengasingan yang menjatuhkan. Dan saat itu manusia akan mengetahui pada apa tanda-tanda keberakhirannya menuju. Masa separuh manusia itu berhenti, menjadi esensi, dan setiap daripada esensi itu datang eksistensi kecil yang tidak ada apa-apanya dari rasa takutnya sendiri. Dan waktu pun seperti modus pikiran yang tidak ada kenyataannya.
Lalu manusia, dari keterpisahannya dengan diri dan kehidupannya bertanya, Apa benar-benar ada kehidupan setelah kematian itu? Jika ada, hidup untuk siapa lagi?
Lagi, jika manusia tak memiliki kesadaran layaknya makhluk lain, itu mungkin bukan masalah. Bukan juga pertanyaan yang bisa dipertanyakan sembari meremas-remas kepala. Atau sembari membaca berjuta-juta buku. Atau sembari menonton imaji-imaji bergambar dalam tontonan dan hiburan kecil di tv. Waktu yang ada terpenjara dalam ruang. Ruang sebagai antitesis Idea. Menjadi semacam roh yang bergentayangan dalam kehidupan kita.
Begitulah Manusia. Memiliki dan memeluk kesadarannya tetapi harus selalu melepas waktu untuk merasa hidup. Bukan seperti saat ia hanya bisa berspekulasi atas apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi semua itu memaksanya memercayai takdir-takdir kosong dalam apologi kering dan langkah olengnya yang setengah kosong.
Milkhan, Manusia dalam permenungannya menyadari apa dan betapa tidak mampunya ia di hadapan takdir. Seolah ia berada dalam titik nadir atas jalanan yang salah ia tempuhi. Merasakan betapa tidak ada lagi yang bisa menunjukkan kemana ia harus berjalan. Dan lagi setelah ini, dimana ia berada. Tidak ada. Dan waktu menjadi substansi unitaris yang takterbatas, abadi, tak bereksistensi, dan takterbagikan.
Rasanya tidak adil bila manusia tidak diberikan pilihan, untuk menyadari sepenuhnya betapa kesepiannya ia di dunia ini....Realitasnya seperti tak diketahui, tetapi menyadari kemungkinan perubahan yang akan terjadi. Menyadari kebaruan-kebaruan dan meresapi segala yang ada. Perubahan itu merupakan distingsi di atas waktu real yang terpahami secara massal. Waktu yang material.
Atau mungkin aku ingin jadi seperti Fosca-nya Simone De Beavoir dalam All Men are Mortal. Yang tak sudi menerima kematian ada. Ad infinitum. Berjalan tak
pernah gontai dalam hidup, menganggap dirinya sendiri sebuah kehadiran yanggrandiosa. Di harap-harap. Beberapa ratus tahun ihidup, mengalami apapun yang ada di dunia. Segala tempat yang disinggahi, penjara purba, kulit gunung, hamparan pasir. Hidup yang penuh pengembaraan. Memiliki anak dan saudara yang semuanya akan menjadi tua dan mati. Dan ia tetap muda. Dan picik.
Ia menatang semua kematian. Siapa yang menantang kematian? Tokoh ala Simone de Beavoir itu, atau sang filsuf sendiri? siapa lagi yang ingin menantang kematian? Aku yakin, sang filsuf justru begitu ketakutan dengan kematiannya.
Tapi sepertinya hanyalah fiksi yang bisa membuat manusia mengabadi. Mortal. Fiksi seakan melawan takdir kematian manusia. Dan ketika itu benar-benar terjadi, apa yang akan dilakukannya setelah itu? Dimana ia memilih tinggal? Bukan di dunia ini pastinya.
Surakarta,
Di ruang pagi dan waktu sunyi.
kutip : eyelightprincess.blogspot.com
No comments:
Post a Comment