Sunday 18 November 2012

Ab Initio : Aku yang semula [ tentang angka sebagai penanda usia manusia ]


Aku seonggok jiwa. Jiwa yang liar. Berkeliling semesta mencari jati diri. Pribumi – pribumi itu sering membincangkan aku. Kini kuceritakan diriku saat itu, saat aku belum utuh.

Aku berawal dari kosong. Dengan ketetapan hati aku memilih satu untuk kelanjutan jiwaku. Lalu dua mengajakku pergi ke negeri antah berantah, aku dengar dari pribumi kalau dua adalah pengadil yang jujur. Namun diperjalanan dia tak mampu melerai pertikaian antara asongan rokok dan asongan kerupuk upil.

 “Bagaimana bisa dia disebut sang adil?” Gelisik ku dalam hati

Tidak. aku tak ingin menjadi dirinya yang hanya berimage tanpa laku yang jelas. 

Lihatlah aku, seringkali ku dibenci, mungkin ini sisi gelapku, sehingga ketika serigala meraung dan bulan purnama beraura mistis, aku ingin menjadi tiga. Bukankah ini klop dengan ku, jahat, munafik, dan pembohong.  

Tapi apakah kamu ingin tetap terjebak dalam raga tak rupawan itu? Kemarilah 

Begitu suara gaib yang lalu memungkas raib. Aku berlari menuju suara itu. Kutemukan empat sedang duduk manis di bangku merah itu. Hampir aku merasuki raganya, tapi aku teringat pesan pribumi bahwa empat masih genap. Bukankah Tuhan menyukai ganjil.

Lalu dibalik tirai keunguan, lima mengintip malu. Namun wajahnya berseri – seri, aku terbelalak kaget dan menghampirinya. Aku melihat dia duduk berselonjor bersama dengan asongan rokok dan asongan kerupuk upil, yang kutemui dalam perjalanan dengan dua tadi. 

“Apa yang kalian lakukan disini?” tanyaku

“begitulah dua yang mereka sebut adil, inilah adil yang sesungguhnya. Lima pemalu namun dialah pengadil sejati bahkan dia mampu adil terhadap cinta, emosi, hati, rasa yang dimilikinya sendiri. Untuk itulah kami nyaman disampingnya. Lima katakan padanya” ungkap kedua asongan secara bersamaan.

“benarkah itu?” hardikku 
“apalah artinya untuk yang lain jika aku mengumbar diri, yang kuingin hanyalah pribumi yang melihat dengan hati yang mau duduk berselonjor di sampingku. Aku tak butuh reputasi, aku tak butuh konspirasi, yang ku butuh mutualisasi dengan hati. Dengan hati !” jelasnya

Aku melihat jingga, merah, kuning di kelopak matanya. Warna itu bersinar terang, seterang lisannya. Ku rasuki sebentar raganya. 

Kemudian enam berinterupsi dari bilik terang disana, “pasti kamu tak akan memilihku” sergapnya. 
Aku keluar dari raga lima. Semua melihatnya. Namun enam diam kembali. Hening. 

“kenapa?” suara lima melumerkan kekeluan yang terjadi. 
“Aku tidak spesial” pungkasnya dengan sedikit mengerutkan dahi
“Aku hanya pelengkap lima dan penyambung tujuh, lewatilah aku maka kamu akan sampai pada tujuh. Lewatilah “
“tentu saja tidak enam, bagaimana kamu mengartikan dirimu dengan tanpa arti? Bukankah itu kelebihanmu?” 
Kupegang raga asta nya, dingin, kuterawang tatapan yang polos nan pilu. Benar pribumi tak pernah bercerita tentangnya. 
“bagaimana kamu bisa mengucapkan sederet kalimat itu dengan tanpa sesal enam? Tanpamu bukankah perjalanannya akan berakhir disini? Sedangkan aku tau, aku bukanlah yang dia cari, dia tak bersinkronisasi dengan sukma ku. Hanya adil dan bijak yang kumiliki. Dia membutuhkan berani. Enam kamulah berani. Lengkapi dia”

Enam terhenyak, diam lama. Tiba – tiba seliter semangat masuk melalui ubun – ubun, mengalir deras menuju hilir di ujung jemarinya
.
“Aku enam. Aku enam. Aku enam” teriaknya “…tanpa spesial, namun aku berani. Terima kasih lima”
“Ayo kuantar ke tujuh. Kuberikan secuil berani ku”
 Aku hanya mampu mematung, melihat mata merahnya yang semakin merah dan merah. Astanya yang tadinya dingin menjadi sangat panas. Dibukanya gembok silver dan menggeser pintu kayu yang sudah lapuk itu. “pergilah, beranilah” pesannya

Diakah tujuh yang diagungkan mereka? Terpancar rona – rona riang lepas gembira. Adil, bijak, sederhana dan keberanian semua dimilikinya, terlihat jelas dari sinar matanya. Ya, aku ingat segerombolan pribumi membicarakannya, tujuh adalah juru kunci taman langit. Tuhan sangat menyukainya. Peri – peri kecil selalu mengelilinginya. Kebaikan ada padanya. Segera aku berjalan cepat untuk masuk ke raganya. Tapi langkahku terhenti. Aku diam laksana tiang tanpa kaki. 

Aku berpikir kembali

“pantaskan aku menjelma merupaimu?”

Aku bertolak menjauh dari tujuh, tanpa sepotong huruf pun ku ucap padanya. Aku kosong masih kosong, gontai, bimbang, ragu, aku berlari kembali ke dalam sepi. Merengkuh sujud kepada Nya. Mungkinkah aku tak kan menemukan ragaku? Atau aku harus menjadi jiwa yang tak utuh? Selamanya.

Sedetik kemudian, delapan merangkul jiwa ku, seakan aku merasakan, aku merasakan peluh – peluh keringatnya semangatnya memenuhi engsel tulangnya. Seperti aliran darah yang tak hentinya mendistribusikan asupan – asupan vitamin ke penjuru tubuh. matanya, kupingnya, tangannya, perutnya. Sekelebat lagi – lagi obrolan para pribumi diperdengarkan oleh angin. Delapan dia selalu beruntung, semangatnya tak pernah putus, terus dan terus mengalir di sekujur urat. Tepat, aku merasakannya, selaksa jiwa yang mengayup, ini aku, inikah ragaku. Kurasuki delapan, nyaman sangat nyaman. Menua aku menua di raga itu.

Pagi kuhabiskan dengan bernyanyi, siangku menari dan malamku berpuisi. Sungguh beruntung aku, seperti raga ini bukan ?

Keluar, keluarlah dari raganya. Bukan. Bukan itu, perjalananmu belum berakhir

Lagi – lagi suara gaib membisik dan menghilang ditelan angin, sehari, dua hari, tiga hari mengapung di pikiranku. Aku tak tahan, siapa yang menyeruku

“aku Sembilan, tahukah kamu delapan bukan akhir. Dia hanya keberuntungan untuk menemukanku”

Suaranya yang lembut, membuatku tertarik untuk mengikutinya. Melepaskan sejenak ragaku. Oh Tuhan aku baru ingat, pribumi mengatakan setelah delapan akan ada Sembilan. Tapi karena kenyamanan ku di delapan aku lupa pesan itu. Karena kejengahanku yang terlalu lama aku tak mencari dan meneruskan perjalananku.

“Sembilan aku ingat, kau adalah yang tertinggi diantara semua raga yang kutemui”

Raga demi raga kurasuki, namun aku jengah, aku letih. Di dalam Sembilan aku terus melansir dzikir, menengadahkan tangan dan bersinambung dengan sajadah. 

Ab initio. Aku ingin kembali. Aku yang semula. Aku yang kosong
Aku bercermin, masih berpikir tentang kepantasan.

“Sembilan rasa – rasanya aku harus memiliki pilihan, bukan? Sungguh tak adil jika para pribumi menyuruhku untuk menentukan raga. Seakan aku tak punya pilihan, seakan aku seperti koin judi. Sekarang aku memilikinya, aku ingin kembali. Kembali pada aku. Aku yang sesungguhnya.”

“itukah pilihanmu? Jika iya aku tak akan memaksa, sesungguhnya andai kamu tahu menjadi kosong pun adalah pilihan yang baik. Inilah sejatinya kamu, hidupmu adalah pilihanmu, jangan terkecoh dengan perjudian takdir yang penuh dengan kami satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan dan aku”

Mendengar kabar dariku, para pribumi menghampiriku

“bunga sebelum menjadi bunga adalah benih dan manusia sebelum menjadi manusia adalah janin” ujar para pribumi kepadaku

Aku kosong, aku tak berdimensi,  aku mengikat diriku pada jiwa ku sendiri, aku adalah aku. Aku kosong.

“asal kamu tahu ada raga yang memiliki 2 sukma, sepuluh dialah yang mungkin kamu cari. Kosongmu akan sempurna dan terlengkapi jika ada satu. Kembalilah ke satu ajak dia kemari. Karena satu akan memimpinmu saat kau bermuhasabbah kepada Maha Besar dan dia akan bersamamu untuk melanjutkan perjalananmu”

Tabir itu tersingkap, yang kubutuh adalah satu dan aku sendiri untuk menghabiskan sisa usiaku.
Entah pada raga keberapa yang kutemui nantinya aku akan berhenti, aku butuh satu untuk bersama, agar aku tak kembali ke sepi agar aku tak terapung dalam angan. 
Ini kisahku. perjalanan kami. makna tersurat dan tersirat yang kudapat. Aku dan satu.

Satu aku tak akan jengah menata tatapanku padamu. Bolehkan duduk berselonjor di sampingmu jika kamu berkenan aku disitu.

Wulan Novitasari
18 Nopember 2012


No comments:

Post a Comment

Related Posts

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...